Tuesday, December 20, 2011

Pengalaman migrasi ke Linux menuju ketenangan dalam berkomputasi

Setiap orang pasti punya cerita sendiri2 bagaimana proses migrasi setelah biasa menggunakan Windows ke Linux atau Sistem Operasi opensource lainnya. Pada waktu masih menggunakan Windows meskipun bukan golongan sangat ahli tapi boleh dikatakan cukup kompeten. Beberapa kali dimintai tolong untuk melakukan troubleshooting masalah2 di Windows, mulai virus, instalasi, cari driver sampai membantu mamahami cara meng-crack software2 berbayar. Dahulu software2 windows banyak saya dapatkan dalam CD baik itu dedicated CD atau dalam kompilasi bersama banyak software2. Hampir semuanya menyertakan metode crack tersendiri seperti patched file, keygen, illegal serial number sampai cara mengakali software license server. Untuk masalah kerentanan Windows terhadap virus dan ketidak berdayaan software anti virus menghadapi virus lokal, masih bisa diatasi menggunakan program DeepFreeze yang akan mengembalikan kondisi drive sistem ke kondisi semula apabila komputer direstart. Semua kebutuhan software boleh dikatakan sudah terpenuhi dan mapan karena sudah memenuhi untuk bekerja. Mungkin normalnya pada kondisi seperti berpindah sistem operasi adalah sangat sulit.

Pengalaman dengan Linux awalnya hanya sekedar coba2, saya tidak berharap banyak dari sistem operasi opensource beserta aplikasinya. Pada waktu masih menggunakan Windows 95 saya pernah mencoba yang namanya Storm Linux yang merupakan turunan Debian Linux (induk yang sama dengan Ubuntu Linux). Dari segi tampilan agak lain dari biasanya tampilan Windows dan aplikasi yang dikemas dalam 3 atau 4 CD menurut saya masih jauh dari aplikasi yang jalan di Windows dan menurut saya sekarang pun aplikasi opensource juga masih dalam proses mengejar aplikasi komersil. Pada waktu itu belum populer yang namanya internet, saya tidak mengerti banyak istilah baru dalam Linux. Bahkan saya tidak memahami hubungan antara Storm Linux dengan Debian Linux sebagai turunan dan induknya. Desakan tugas menyebabkan belajar Linux harus dikesampingkan.

Atmosfer IT kita memang tidak berpihak pada penggunaan FOSS bahkan ketika saya studi di Jepang IT di sana didominasi oleh software komersil, bedanya di sana sebagian besar software adalah legal. Harga unit PC dengan softwarenya hampir sama dengan Apple Mac sehingga masyarakat memiliki pilihan yang hampir berimbang. Berbeda dengan di Indonesia dengan kemudahan untuk mendapatkan software bajakan untuk PC sehingga Mac hanya seolah menjadi barang mewah dan pengguna jelata memakai PC dengan software bajakan. Beberapa teman memang ada yang sudah menggunakan Linux dan beberapa kali memprovokasi untuk ikut menggunakan. Tetapi dalam pandangan saya saat itu pengguna Linux adalah mereka yang nyentrik, geek dan sedikit anti kemapanan. Saat itu saya juga masih aktif bermain game dengan Windows dan game di Linux juga belum menjanjikan.

Pengalaman berikutnya menggunakan Linux bukan karena provokasi siapa pun. Kebetulan laptop yang saya beli menyertakan CD instalasi Linux Mandriva yang tidak tampak menarik untuk dicoba sehingga hanya disimpan sebagai kelengkapan paket laptop. Distro yang saya instal malah Ubuntu yang saat itu sudah menjadi distro paling populer dengan banyak forum diskusi bagi penggunanya. Dengan LiveCD saya dapat melihat bagaimana laptop saya menjalankan Ubuntu, waktu itu versi 8.04 Hardy Heron. Masalah langsung muncul, VGA saya tidak didukung sehingga resolusi tidak maksimal dan efek desktop tidak muncul. Sebenarnya saya sudah mulai menyukai sistem repository yang menurut saya praktis karena tinggal mencentang dan aplikasi terinstal secara otomatis. Penasaran dengan layar laptop saya akhirnya saya menginstal Mandriva bawaan beli laptop dan semuanya berjalan lancar. Waktu itu untuk testing suara saya memutar lagu I Just Wanna Say I Love You nya Potret menggunakan Amarok. Lagu itu sampai sekarang menjadi lagu yang bersejarah dalam proses migrasi ke Linux. Tampilan resolusi laptop sudah penuh tetapi tanpa efek desktop dan belum bisa menampilkan eye candy dengan sempurna, tetapi bagi saya hal tersebut masih bisa diterima. Waktu itu kawan saya menunjukkan distro Ubuntu di laptopnya beserta efek desktop, saya kira waktu itu Ubuntu lebih canggih sehingga sudah memiliki efek desktop. Saya ganti Mandriva dengan Ubuntu dan mencari cara bagaimana mendapatkan resolusi penuh di laptop saya. Di sinilah naluri hacking diasah. Saya mulai paham dengan kesamaan konfigurasi X di Ubuntu dan Mandriva, dengan menyalin xorg.conf milik mandriva ke Ubuntu saya dapatkan layar dengan resolusi penuh di laptop saya menggunakan Ubuntu. Saya tetap belum bisa mendapatkan efek desktop dan baru sadar setelah baca bahwa laptop saya menggunakan chip S3Chrome yang tidak didukung penuh dalam dunia opensource. Proyek yang ada saat itu adalah Openchrome yang hanya mendukung akselerasi 2D dan itu pun belum dapat saya aplikasikan pada laptop saya.

Saya sudah mulai merasa nyaman menggunakan Ubuntu Linux bahkan sudah menemukan cara memperindah tampilan menggunakan hardware dengan dukungan terbatas. Berikutnya adalah mencari cara untuk mengurangi booting ke dalam Windows karena saya masih menggunakan beberapa program yang hanya berjalan under Windows termasuk untuk mapping yang merupakan aktivitas penting dalam pekerjaan saya. Dalam hal ini internet memang memegang peranan penting, karena saya dapat mencari solusi dari banyak sumber. Wine sebagai sasaran pertama emulasi Windows di Ubuntu ternyata kurang memuaskan. Beberapa aplikasi sederhana memang berjalan tetapi program pemetaan yang paling penting tidak bisa berjalan, bahkan diinstal saja tidak bisa. Kemudian saya menemukan VirtualBox yang merupakan virtual machine yang dapat berjalan under Linux dan didalamnya dapat dipasang Windows secara native sehingga program pemetaan saya dapat berjalan lancar. Dari langkah ini saya sudah bisa menekan frequensi booting dalam Windows ke hampir nol. Saya menggunakan Windows hanya untuk game yang tidak dapat berjalan dalam VirtualBox. Setelah saya berhenti bermain game maka partisi Windows sudah tidak pernah digunakan.

Semakin lama saya menggunakan Ubuntu ditambah lagi saya membeli laptop yang 90% lebih fully supported, saya mulai mencari cara untuk bisa meminimalkan penggunaan Windows. Meskipun Windows dalam VirtualBox sudah sangat jarang saya gunakan tetapi tetap belum bisa dihilangkan karena lingkungan pekerjaan yang sangat kuat menggunakan format propietary. Sebenarnya ini bertentangan dengan profesi pengajaran yang seharusnya membuka luas peluang untuk mempelajari tools dengan bebas. Membuka luas sumberdaya berarti melanggar lisensi yang hanya berlaku bagi sedikit orang pengguna. Halangan paling besar adalah mengganti program pemetaan yang biasa saya gunakan dengan versi FOSS nya. Artinya saya harus belajar lagi dari awal dengan segala kekurangan program FOSS. Hal yang membuat saya kagum adalah perkembangan IT dan FOSS yang sangat cepat akhir2 ini membuat saya lebih mudah menemukan apa yang saya perlukan dalam proses belajar komputasi. Hubungan saya dengan software propietary semakin minimal dan itu saya nilai sekarang karena tempat kerja yang masih menggunakan software berlisensi yang sudah terlanjur dibeli dalam skala corporate sehingga sudah memakan banyak biaya, masak tidak dipakai. Saya tahu yang terpasang dalam komputer saya masih versi ilegal tetapi itu dengan dua alasan kuat: dua kali saya membeli laptop dibundel dengan windows yang juga harus saya bayar + harga laptop dan institusi menyatakan telah membeli lisensi secara korporate sehingga seluruh komponen institusi dapat menggunakan secara legal. Dua hal tersebut yang menurut saya bisa dijadikan dasar untuk menjaga hubungan dengan produk MS. Selebihnya saya bergantung pada FOSS dan saya lebih tenang setelah kurang lebih 19 tahun dalam menggunakan komputer.
Zombie di desktop Anda tidak mengurangi ketenangan menggunakan komputer Anda karena berkurangnya zombie dalam sistem.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home