Friday, November 25, 2011

Semakin mendekati desktop dengan tatanan Mac OS

Mac OSX yang asli yang menurut saya merupakan desktop dengan penataan sangat sistematis dengan detil yang disusun secara teliti.
Dream desktop, sebenarnya mesinnya bisa diduplikasi tapi plus software dll. harganya jadi mahal.
Salah satu hal yang saya kagumi adalah global menu yang katanya didasari bahwa aktifitas dalam Mac merupakan dokumen sentris. Sayangnya Sistem operasi Mac OS sangat erat dengan hardware yang memang berkualitas tinggi dengan software komersil legal yang menjadikan harganya mahal. Dengan konsep bahwa dari sekian banyak window yang terbuka hanya satu menu yang terpakai maka Global Menu menjadi sangat pas terutama untuk desktop berlayar kecil. Dengan komposisi pada Mac OSX menurut saya less distracting, sehingga kita cenderung "dipaksa" untuk fokus pada apa yang sedang kita kerjakan. Dengan dock yang menghilang dari pandangan dan panel yang meredup apabila tidak digunakan maka kita tidak tertarik untuk mengklik yang lain2.
Sedangkan ini adalah upaya saya untuk mendandani desktop pada Ubuntu supaya semakin mirip dan upaya2 terakhir para pengembang di Ubuntu membuat semakin mudah.
Semakin mendekati walaupun jelas tidak bisa menyamai.


Berhubung konfigurasi Unity milik Ubuntu saya rasakan tidak fleksibel maka saya banyak mencoba konfigurasi2 di Ubuntu termasuk Gnome shell dan Lubuntu. Pada percobaan dengan Lubuntu ternyata menemukan Desktop Environment yang menurut saya sangat modular. Walaupun dalam modifikasinya sedikit banyak agak manual tetapi komponen yang tidak kita kehendaki dapat dihilangkan dan kita bisa menambahkan komponen lain sehingga menghasilkan konfigurasi sesuai harapan.

Komponen yang saya gunakan antara lain :
- Lubuntu : Ubuntu yang menggunakan LXDE sebagai desktop environmentnya. LXDE adalah singkatan dari Lightweight X11 Desktop Environment yang ringan sehingga bisa dijadikan dasar karena modul2 yang ditambahkan berikutnya akan semakin berat. Bagi yang sudah menginstall Ubuntu standar maka dapat menambahkan paket Lubuntu-desktop melalui synaptic.

- Compiz sebagai window manager yang mengatur efek composite dengan memanfaatkan akselerator grafis. Window manager asli LXDE adalah Openbox tetapi karena tidak mendukung compositing seperti efek2 transparan maka saya ganti dengan compiz dengan konsekuensi kerja sistem yang semakin berat. Segala sesuatu memang ada harga yang harus dibayar. Untuk mengubah window manager pada Lubuntu maka perlu mengubah ~/.config/lxsession/Lubuntu/desktop.conf pada bagian window_manager=openbox-lxde menjadi window_manager=compiz ccp --indirect-rendering. Dengan mengubah window manager menggunakan compiz maka kita bisa menggunakan compizconfig-settings-manager (ccsm) untuk mengatur efek2 tampilan. Termasuk di antaranya adalah shortcut Alt+F2 yang harus diatur menggunakan ccsm. Sampai tulisan ini dibuat saya masih kesulitan menggunakan lxpanelctl run yang dimiliki oleh LXDE/Lubuntu maka saya menggunakan xfrun4 dari Xfce4.

- Avant Window Navigator yang menyediakan fasilitas docking dan shortcut program2 favorit. Untuk dapat menjalankan AWN ini perlu adanya window manager yang mendukung compositing, salah satunya Compiz. AWN tidak terinstal pada instalasi standar Ubuntu maka perlu ditambahkan dengan menginstal paket avant-window-navigator.

- Xfce Panel dan Global menu plugin: Lubuntu memiliki panel yang bernama lxpanel tetapi panel yang dimiliki tidak mendukung Global menu. Gnome panel juga meragukan karena Gnome sudah beralih ke Gnome Shell dengan sistem panel yang berbeda. Akhirnya Xfce panel saya gunakan apalagi setelah mengetahui kabar dari OMG Ubuntu bahwa Xubuntu sudah mendukung global menu sehingga xfce panelnya pasti sudah ada plugin untuk global menu.
Sebelumnya kita perlu menginstal paket xfce4-panel kemudian menambahkan repository dengan perintah sudo apt-add-repository ppa:the-warl0ck-1989/xfce-appmenu-plugin kemudian menginstal paket2 yang berkaitan dengan global menu pada xfce dengan perintah sudo apt-get update && sudo apt-get install xfce4-appmenu-plugin indicator-appmenu appmenu-gtk appmenu-qt. Apabila instalasi telah sukses maka kite perlu mengganti lxpanel menjadi xfce4-panel. Konfigurasi /etc/xdg/lxsession/Lubuntu/autostart perlu dimodifikasi. Pada bagian @lxpanel --session Lubuntu diubah menjadi @xfce4-panel. Kita mungkin perlu logout/login untuk melihat hasilnya dan apabila telah sukses dengan munculnya panel xfce maka setting berikutnya dapat dilakukan dengan menambahkan plugin Indicator Appmenu Plugin pada panel.
Dengan menggunakan theme Zukitwo akan didapatka hasil yang sangat mirip hanya saja pada panel tulisan menu berwarna putih sehingga tidak kontras dengan background terang. Untuk mengubah warna teks maka kite perlu memberikan perintah :
sed -i 's/ffffff/1a1a1a/g' /home/user/.themes/Zukitwo/gtk-2.0/widgets/panel.rc
dan
sed -i 's/f5f5f5/1a1a1a/g' /home/user/.themes/Zukitwo/gtk-2.0/widgets/panel.rc

- Zukitwo gtk theme, window decoration dan Macbuntu-Xi-icons untuk tampilan yang semakin mirip walaupun dalam hal ini tidak esensial. Saya hanya menyukai perpaduan aksen biru pada kebanyakan icon Mac dengan nuansa abu2 pada desktop.

- Untuk aplikasi berbasis QT yang biasanya bawaan dari KDE dapat menggunakan style qtcurve. Selain itu juga perlu menginstal qt4-qtconfig dan systemsettings dari KDE untuk mengatur konfigurasi tampilan.

Beberapa hal yang kemudian saya sadari adalah, saya tidak dapat menemukan tombol untuk logout, shutdown, restart dll. Hal ini saya siasati dengan menambahkan program launcher pada panel untuk menjalankan lxsession-logout yang akan memanggil window untuk memadamkan sistem.
Untuk detil bisa saya kembalikan kepada pembaca sekalian.

Tuesday, November 15, 2011

Mengoptimalkan Pengalaman Menggunakan Ubuntu Linux


Sebenarnya isinya adalah tambahan yang dilakukan pada PinguyOS sehingga Ubuntu standar menjadi lengkap dan semakin nyaman digunakan tanpa harus menjadi terlalu minimalis.

Untuk tingkatan sistem bertujuan mempersingkat waktu booting dan response terhadap perintah:

1. Ada beberapa pilihan untuk mempersingkat waktu booting, yang saya pilih adalah dengan menggunakan program e4rat http://e4rat.sourceforge.net/ prosesnya sedikit rumit tapi hasilnya lebih terasa dibanding menggunakan ureadahead yang merupakan program bawaan Ubuntu. E4rat ini akan melakukan realokasi file2 yang diakses dalam 2 menit pertama setelah kita menyalakan komputer ke tepi disk sehingga cepat dibaca. Hanya saja pada sistem saya program e4rat tidak berjalan mulus terutama pada saat shutdown karena proses shutdown terhenti tengah jalan dan menyebabkan kernel panik. Tetapi selama pengoperasian tidak ada masalah. E4rat ini hanya bagi yang menggunakan filesystem ext4 pada harddisk bukan SSD.

2. Untuk mempercepat running aplikasi yang sering dijalankan saya menambahkan program preload dan prelink yang tersedia dari repository Ubuntu. Preload akan melakukan analisis program2 yang sering dijalankan beserta file2 library yang diperlukan dan akan meload library tersebut lebih dahulu. Pada saat kita akan menjalankan program favorit maka waktu loadingnya akan menjadi lebih singkat. Program Prelink akan memetakan program aplikasi dengan library2-nya sehingga sistem
lebih cepat menemukan library2 yang diperlukan pada saat menjalankan suatu program.

3. Untuk pengguna kernel 2.6.37.1 ke atas dapat menggunakan script zram dari ppa:shnatsel/zram dengan menginstall zramswap-enabler. Script di sini sepertinya untuk mengaktifkan program zram yang sudah terintegrasi dalam kernel. Program zram ini akan membuat sebuah swap disk terkompresi di memory dan program2 yang intensif menggunakan swap akan semakin cepat. Dikatakan oleh pembuatnya bahwa zram tidak aktif secara otomatis karena pengguna SSD dan komputer bermemory besar tidak banyak merasakan manfaatnya.
Kadang zram tidak otomatis aktif pada saat reboot, saya belum tahu sebabnya apa tetapi dapat ditambahkan perintah pada file /etc/init.d/rc.local:
service zramswap start

4. Berikutnya adalah tidak dengan mengandalkan program, tetapi melakukan seting parameter kernel berkaitan dengan penggunaan swap space.
Pada file /etc/sysctl.conf kita tambahkan baris2 berikut:

vm.swappiness=100
vm.vfs_cache_pressure=50

nilai default vm.swappiness Ubuntu adalah 60, dengan mengubah menjadi 100 maka komputer akan sering menukar memory ke swap space. Banyak yang menyarankan menggunakan nilai 10 tetapi itu saya rasakan komputer menjadi lebih tenang tetapi pada suatu waktu tertentu aktivitas disk menulis swap space akan melonjak drastis dan komputer tidak dapat digunakan untuk jangka waktu agak lama. Dengan nilai besar kecepatan komputer menjadi terasa stabil.
5. Program berikut tidak melakukan optimasi pada kecepatan tetapi pada penggunaan energi. Program granola http://grano.la/ akan berjalan di latar belakang dan memantau penggunaan CPU. Apabila penggunaan CPU tidak terlalu tinggi maka program akan menurunkan kecepatan CPU sehingga konsumsi daya menjadi berkurang dan CPU menjadi dingin. Kita juga bisa melakukan setting kecepatan CPU setengahnya secara permanen dengan konsekuensi kecepatan komputer menurun. Granola mensyaratkan dual core CPU, dan pada saat awal2 menemukan program ini BIOS komputer saya ternyata tidak begitu baik sehingga CPU Atom saya hanya dikenali sebagai single core. Masalah terselesaikan setelah saya mengupgrade kernel menjadi 2.35 yang sebelumnya 2.32. Samapai kernel 3.1 yang saya gunakan sekarang tidak ada masalah.

Agar pengalaman grafis menjadi cepat, sebenarnya pengguna dapat menggunakan Desktop Environment minimalist seperti FVWM, 9WM dll. atau XFCE yang lebih kompleks. Pada Ubuntu 11.10, tidak lagi tersedia Gnome versi 2 dan pengguna hanya mempunyai pilihan menggunakan Gnome shell dari Gnome3 yang berbasis library Mutter, atau Unity yang berbasis Compiz. Keduanya mensyaratkan adanya akselerator 3D dan apabila komputer tidak memiliki akselerator 3D maka pilihan menjadi hanya Unity 2D dengan kemampuan compositing tampilan minimal. Saya memilih menggunakan Gnome-shell dari Gnome3 karena kebetulan akselerator 3D saya didukung. Saya menggunakan intel atom dengan akselerator 3D terintegrasi, tidak terlalu hebat tetapi lumayanlah.

Untuk penataan menu dan tampilan saya berkiblat pada Mac OS. Boleh dikatan Mac OS adalah desktop impian sayang harganya sangat mahal karena terbundel dengan hardware high-end dan software2 komersil seperti MSOffice dan Photoshop yang aslinya berharga mahal. Komponen2 yang bisa ditiru sejauh ini adalah:
- Window button terletak di sebelah kiri.
- Konsekuensi dari window button sebelah kiri adalah Menu menjadi mengganggu karena bisa salah mengklik. Konsep Mac OS adalah desktop bebasis dokumen dengan menggunakan Globalmenu. Global menu pada gnomeshell Ubuntu sudah bisa ditiru dengan keterbatasan. Referensi dapat dibaca di http://www.webupd8.org/2011/09/get-global-menu-in-gnome-shell.html. Global menu hanya berlaku bagi program native GTK dan tidak bekerja pada program seperti Office dan Firefox. Globalmenu pada Unity sudah bekerja dengan lebih baik untuk banyak aplikasi. Berbeda dengan global menu horizontal pada Mac OS atau Unity, pada Gnomeshell globalmenu tersusun secara vertikal.
- Perbedaan Gnome3 dari Gnome2 salah satunya pada program Nautilus yang merupakan file manager. Nautilus 3 lebih ringkas dari nautilus 2 dan apabila pengguna masih belum puas dapat menggunakan nautilus elementary (pada 11.10 berubah menjadi marlin) yang juga ringkas dengan layout toolbar lebih lengkap.
- penggunaan dock, yaitu program untuk melakukan launching aplikasi favorit berupa deretan icon. Dock juga berfungi sebagai taskbar yang menampilkan icon2 dari program yang sedang berjalan. Pada Ubuntu ada banyak pilihan dan saya menggunakan avant-window-navigator dari repository.

Beberapa tambahan yang cukup memberikan kenyamanan seperti program redshift yang akan mengubah tone tampilan sesuai dengan waktu lokal. Pada malam hari pada saat pencahayaan tidak terlalu terang layar akan berubah menjadi tone warna hangat (kemerahan) sehingga mata tidak cepat lelah. Pada siang hari tone akan berubah menjadi putih (tone suhu tinggi) agar layar menjadi kontras di antara pencahayaan cukup tinggi.

Tidak ada setting komputer yang sempurna tetapi proses menuju ke sana menggunakan sistem operasi Linux terutama Ubuntu menjadi menyenangkan.

Thursday, November 10, 2011

Life Is Like Rubik's Cube (tulisan pembungkus sebuah puzzle)


gambar oleh Albert Prianto situs wordpress.


Kesannya tulisan di atas dilebih-lebihkan sebagai sarana promosi pembuat mainan puzzle magic cube atau yang populer sebagai rubik's cube. Walaupun dalam kehidupan sebenarnya jauh-jauh-jauh lebih kompleks dan susah tetapi keduanya memiliki kemiripan. Boleh dikatakan rubik's cube ini masih pantas dijadikan model kita berpikir. Saya yakin setiap orang tahu tujuan dari permainan rubik's cube ini. Dan boleh dikatakan kalo ada yang tidak tahu mungkin hidupnya di ujung gunung, di dalam gua atau di dasar lautan dengan demikian belum pernah tahu. Anda boleh mengartikan kalimat di atas sebagi metafora untuk gunung, gua atau lautan pikirannya sendiri. Bisa jadi dia tinggal di tengah perkotaan tapi kerena sibuk dengan pikirannya sendiri sehingga tidak tahu yang namanya rubik's cube ini. Dan bolehlah kita meragukan pemahamannya terhadap hidup. Silakan protes tapi permainan ini sudah melanglang buana selama 30 tahun lebih. Lebih lama dari gamewatch buatan Nintendo.

Tujuannya sederhana bagaimana menjadikan satu sisi cube memiliki satu warna untuk seluruh sisi yang lain setelah cube diputar sana-sini secara acak. Sementara tujuan manusia hidup bermacam-macam, ada yang ingin kaya, berkuasa, terkenal atau cari pahala untuk masuk surga. Pada rubik's cube, namanya juga mainan tentu saja lebih sederhana dan lebih mudah. Tapi dari kesederhanaan itu masih banyak yang terkecoh. Dengan tujuan menjadikan "satu sisi satu warna" maka pikiran terpaku pada sisi dan warnanya saja. Pertama kali terpikir pada umumnya adalah bagaimana menyusun warna satu sisi satu persatu untuk kemudian beralih ke sisi yang lain sampai puzzle selesai. Tanpa teknik khusus hal tersebut hampir mustahil dilakukan. Hal itu sangat umum karena hanya melihat dari bentuk luarnya yang memang mengarahkan ke kesimpulan semacam itu. Tanpa tahu mekanisme kerjanya maka menyelesaikan cube tersebut hampir mustahil. Karena hanya berpatokan pada warna banyak yang mencurangi dengan melepas stiker warnanya dan menata ulang, walaupun sebenarnya ini juga bukan cara curang yang cerdas. Lebih cerdas lagi apabila seluruh piecenya dilepas untuk kemudian ditata ulang daripada melepas stiker.  Misalnya lagi, sering setelah memperhatikan beberapa waktu baru menyadari kalau bagian tengah setiap sisi ternyata tidak berpindah tempat. Dengan menyadari hal tersebut seseorang bisa menggunakan bagian tengah sebagai patokan. Lebih maju lagi setelah memahami ternyata ada piece yang punya 2 warna dan ada yang 3 warna dan masing-masing tidak bisa saling bertukar tempat (corner tidak dapat bertukar tempat dengan edge). Dengan memperhatikan detil dari sebuah rubik's cube sebenarnya seseorang sudah bisa memulai eksplorasi dengan lebih terarah yang mengarah pada penyelesaian cube. Walaupun tidak mudah tetapi masih lebih baik daripada yang buta akan detil cube-nya.

Seseorang bisa memiliki visi, misi dan tujuan yang jelas tetapi tanpa pemahaman terhadap mekanisme kerja komponen yang mendukung, maka visi, misi dan tujuan tersebut hanyalah impian kosong.

Ada suatu solusi cube yang tidak melibatkan banyak rumus. Sering bila kita membeli sebuah magic cube disertai selembar kertas solusinya melibatkan banyak rumus (+/- 9 rumus) dalam 7 langkah yang dikatakan sebagai beginner's method atau playgroup method. Pada awalnya untuk memahami solusi ini juga tidak terlalu mudah. Tanpa memahami cubenya sendiri kita tidak akan bisa menggunakan solusi yang ada di depan mata. Petunjuk ada di depan mata tetapi karena tidak paham situasi maka percuma saja. Saya juga mengalami kesulitan bahkan setelah waktu kecil berhasil menggunakan solusi dari leaflet untuk menyelesaikan cube yang dibeli dulu. Kalau sekarang bisa menyelesaikan kurang dari 40 detik kadang kurang dari 30 detik hanya karena sering memainkan saja dan baca2 artikel cubing lebih lanjut dan itu tidak diperlukan untuk sekedar menyelesaikan rubik's cube. Dengan metode beginner sudah cukup untuk menyelesaikan cube, dan setelah hapal maka seseorang bisa menyelesaikan dalam waktu 1 menitan. Justin Beiber bisa menyelesaikan dalam waktu kurang dari 90detik.

Metoda dengan sedikit rumus yang dikatakan di atas hanya melibatkan 1 putaran sisi kanan searah jarum jam- 1 putaran sisi atas searah jarum jam- 1 putaran sisi kanan berlawanan arah jarum jam- 1 putaran sisi atas berlawanan arah jarum jam (RUR'U'). Yang lain adalah secara intuitif yang tetap menuntut pemahaman kita akan pergerakan piece dan dilakukan dengan tahapan2 yang urut (bahkan cubing saja ada rukunnya). Langkah2nya bisa dicari via Google dan sepertinya saya juga pernah posting metode ini dengan sedikit perubahan. Metode ini menurut saya bagus untuk melatih short term memory bagi yang agak berumur sekedar show kepada cucunya kalau kakeknya juga bisa menyelesaikan cube. Untuk yang pingin adu cepat sebaiknya lupakan metode ini karena langkah2nya panjang dan masih harus mengira-ngira posisi piece setelah serangkaian move, tapi benar2 intuitif dan terjangkau oleh kecerdasan normal termasuk saya.

Cube ini memang mainan dan tetap akan menjadi mainan, kita tidak bisa berharap tiba2 berubah menjadi mobil atau berharap setelah berhasil menyelesaikan berubah menjadi makhluk ajaib yang mengabulkan permintaan. Tetapi dengan mainan berharga murah meriah ini kita bisa banyak mengevaluasi cara berpikir dalam memecahkan masalah dengan hampir tanpa resiko. Ada bisa saja sedang sial cube anda patah dan pecahannya mengenai jari sehingga terluka. Tapi ini sedikit bisa menghindari mencoba-coba pola pemikiran kita pada komunitas yang lebih luas. Nasib orang banyak terlalu berharga untuk menguji pemikiran kita secara trial and error. Salah langkah dalam menyelesaikan rubik's cube hanya akan mengacak beberapa piece dan memaksa kita untuk mengulangi sejauh mana kesalahan kita. Salah dalam mengelola permasalahan yang lebih besar bisa jadi merenggut nyawa orang atau menghancurkan masa depannya. Semua memang sudah ada yang mengatur, tinggal kita berdo'a untuk yang terbaik. Mungkin kita bisa mencoba pada sebuah cube yang teracak, kemudian kita berdo'a dan melihat bagaimana do'a kita menyelesaikan cube terebut. Bisa jadi begitulah mekanisme do'a yang bekerja pada kita.

Happy cubing and keep living!

Wednesday, November 9, 2011

Mengubah input method default pada sesi grafis Ubuntu

Linux dan kawan2nya menggunakan sistem grafis X untuk menampilkan antarmuka grafis. Pada instalasi Ubuntu saya yang baru ada masalah dengan metode inputnya terutama pada saat akan melakukan renaming file atau folder. Masalah itu muncul setelah saya menambahkan local language Japanese beserta metode inputnya dan melakukan setting default input method Ibus menggunakan program im-switch. Setiap akan melakukan aktifitas input menggunakan keyboard pada sistem (nautilus, dash dll.) keyboard tidak mengeluarkan apa2. Berikutnya saya menyadari bahwa saya bisa melakukan klik kanan pada setiap baris isian untuk memilih metode input yang dikehendaki. Keyboard baru dapat berfungsi setelah mengubah metode input  menjadi selain X Input Method. Bahkan metode input None sekalipun bisa digunakan. Tentu tidak nyaman apabila setiap akan melakukan renaming file atau folder atau hal2 yang berkaitan dengan sistem harus mengubah metode input terlebih dahulu. Setelah baca sana sini ternyata ada yang harus diubah konfigurasinya secara manual yaitu file /etc/alternatives/xinput-all_ALL 


Pada baris yang terdapat :

XIM=
XIM_PROGRAM=
XIM_ARGS=
diubah menjadi

XIM=ibus
XIM_PROGRAM=/usr/bin/ibus-daemon
XIM_ARGS="--xim"


dan sebenarnya konfigurasi ini saya ambil dari file /etc/alternatives/xinput-ja_JA dengan demikian saya menganggap bahwa keseluruhan sistem dapat menggunakan metode input Japanese dan apabila kita menginstal local language China, Korean atau mungkin Arabic (dengan catatan selama semuanya menggunakan metode input Ibus) kita bisa mengaplikasikan untuk keseluruhan sistem. Saya belum mencoba untuk Display Manager dan Desktop Environment selain Gnome3 (LIghtDM mungkin juga bisa) tetapi selama tampilan grafis masih dikelola dengan X saya perkirakan akan tetap bisa digunakan.

Monday, November 7, 2011

Solusi Remote Desktop XDMCP di Ubuntu

Keputusan Ubuntu (atau Gnome) untuk menghilangkan fasilitas Remote Login menggunakan protokol XDMCP dari GDM memberikan dampak kesulitan tersendiri. Setelah versi 9.04 fasilitas tersebut secara resmi dihapus. Display Manager tetap menyediakan layanan XDMCP yang dapat diakses via Remote Client yang artinya pengguna harus login secara lokal baru kemudian melakukan Remote Login ke komputer yang dimaksud. Sampai pada versi 10.10 banyak yang mengatakan fasilitas remote login menggunakan XDMCP ini masih bermasalah dengan bug. Pada versi 11.10 akhirnya saya coba sendiri dengan menghadapi kenyataan bahwa Ubuntu menggunakan LightDM sebagai pengganti GDM.


Solusinya memang tidak seelegan koneksi melalui Display Manager seperti pada 9.04 tetapi apa boleh karena menggunakan XDM juga masih belum bisa. Display Manager saya kembalikan ke GDM itu pun dengan kenyataan lagi bahwa file /etc/gdm/custom.conf tidak lagi ada. Untuk memasang gdm dapat menggunakan perintah sudo apt-get install gdm. Akhirnya untuk memodifikasi setingan GDM bikin sendiri file custom.conf dan di dalamnya diisi :
[xdmcp]
Enable=True
Port=177
dan setelah ini diperlukan merestart GDM dengan perintah /etc/init.d/gdm restart atau dengan mengaktifkan tombol Ctrl + Alt + Backspace atau yang lebih mudah merestart komputer. Dengan ini fasilitas Remote Desktop menggunakan XDMCP telah diaktifkan.


Untuk Client setelah bongkar sana-sini menemukan sebuah program remmina yang dapat melakukan koneksi remote desktop menggunakan XDMCP. Remmina dapat diinstal dengan sudo apt-get install remmina remmina-plugin-xdmcp dan kita bisa melakukan koneksi ke komputer remote.
Di sini kita tinggal memasukkan alamat komputer remote dan menentukan resolusi yang dikehendaki dan kita bisa memulai sesi remote computing.


Dengan menggunakan program remote client ini diperlukan akun lokal bagi pengguna untuk dapat menggunakannya. Sehingga terpaksa disediakan akun untuk umum atau akun guest.

Sunday, November 6, 2011

Desktop yang Modern

Simple bespin + nmfnms icons + Aya theme = Alien desktop with simple menu. KDE never dies....
Desktop ini sepertinya biasa2 saja tidak ada bedanya dengan yang dulu2. Secara penampilan tidak banyak berubah, karena perubahannya datang setelah adanya sedikit tambahan fitur baru dan ide yang datang mendadak. Setelah upgrade dan kini menggunakan KDE 4.4 SC (Software Compilation) ada beberapa tambahan fitur yang dapat digunakan untuk melengkapi fungsionalitas. Dengan menggunakan desktop environment yang dapat dengan mudah ditata ulang, dibongkar pasang seperti ini dapat menjadi sarana berlatih membuat desktop yang indah, elegan, sederhana tetapi intuitif dan fungsional. Hal semacam ini yang belum pernah didapatkan bila menggunakan OS komersil.

KDE pada dasarnya sudah sangat fungsional tetapi touch and feelnya masih dasar sekali yang bagi beberapa orang mungkin sudah cukup. Untuk penggunaan desktop atau notebook berlayar besar mungkin tidak masalah, tetapi bagi notebook berlayar kecil tetapi lebar menyamping yang umumnya diistilahkan sebagai netbook, konfigurasi dasar dirasa banyak menghabiskan space vertikal untuk bekerja. Jadi penataan ulang ini pada umumnya bertujuan meringkas aksesori yang disusun vertikal dan apabila mungin ditata menjadi horizontal.



Desktop Unity dari Ubuntu 11.10, setelah satu tahun akhirnya ada desktop yang memiliki filosofi seperti yang saya gunakan.
Desktop Unity ini menekankan pada fokus terhadap apa yang sedang dikerjakan. Komponen2 yang tidak sedang digunakan akan disembunyikan. Launcher di sebelah kiri menyerupai shortcut pada Mac OS dan Avant Window Navigator hanya sayangnya tidak dapat dipindah posisinya. Desain dari Unity ini sepertinya memang meniru Mac OS yaitu dengan memindahkan window buttons ke sebelah kiri dan semakin menyempurnakan global menu. Global menu adalah penempatan menu pada panel, jadi menu tidak ditempatkan di masing2 window. Menurut saya ini sangat menghemat tempat walaupun akan membingungkan bagi yang baru menggunakan dan pada Unity dari Ubuntu ini masih kurang konsisten.


Desktop KDE konfigurasi dasar
Pada konfigurasi dasar, space kerja akan terkurangi oleh taskbar (paling bawah), status bar (di bagian bawah setiap window), icon bar (jajaran icon di setiap window), menu bar, dan title bar. Dari beberapa kali bongkar pasang, yang bisa dibuat ringkas pertama adalah title bar. Pada KDE 4.4 memiliki window decorator bernama bespin yang salah satu fiturnya adalah menempatkan title bar di sebelah kiri. Sebagai gantinya taskbar yang semula di bawah dipindahkan ke atas. Mulai KDE 4.3 ada plasma widget bernama Current Application yang memang diciptakan untuk netbook. Widget ini berisi informasi window yang sedang aktif (icon dan title) dengan tombol restore/maximize dan close untuk mengubah dan menutup window yang sedang aktif. Dengan meletakkan di taskbar sebelah paling kanan maka seolah-olah title bar menjadi satu dengan taskbar. Title bar yang sebenarnya berada di sebelah kiri dan masih lengkap dengan tombol minimize, maximize/restore dan close. Title bar ini masih diperlukan sebagai dekorasi apabila window dalam keadaan tidak maximized. Adanya tombol restore/maximize dan close pada title bar seperti redundant terhadap widget Current Application, sehingga lebih baik dihilangkan sehingga hanya tinggal tombol minimize saja. Untuk icon bar sementara dibiarkan pada tempatnya, tetapi pada beberapa aplikasi seperti Openoffice, icon dapat dipindah ke tepi agar ada tambahan space vertikal untuk penyusunan dokumen.




Taskbar pada layar netbook yang kecil akan terasa penuh apabila menggunakan task manager normal (task manager dengan tampilan ikon dan sebagian title) pada taskbar dan kita sedang membuka beberapa window saat bekerja. Di sini widget task manager standard diganti dengan smooth task yaitu task manager yang hanya menampilkan icon saja. Title dan preview window akan ditampilkan apabila icon pada task bar ditunjuk dengan mouse. Dengan menggunakan smooth task space taskbar dapat lebih dihemat.



Untuk Gnome. Pada tampilan Gnome classic masih banyak memakan tempat dan cenderung mengalihkan perhatian dari hal yang sedang dikerjakan. Seperti yang terlihat di gambar bawah, terdapat dua panel di atas yang berisi menu dan bawah berisi program yang sedang berjalan (seperti pada windows).
Tampilan Gnome klasik pada Ubuntu Intrepid


All in One Panel
Kicker menu (Start menu pada Windows) di sebelah kiri dibuat sesederhana mungkin dengan hanya berisi menu favorite dan Run Command... Artinya hanya program yang sering diakses yang menunya dipajang. 


All in One Panel versi Unity
Clutter bar versi berikutnya, menggabungkan central menu (windows) dan global menu (Mac) tanpa window buttons. Taskbar digantikan oleh button kecil di depan global menu yang berisi program2 yang sedang berjalan.
Menu utama tidak diwakili oleh logo tidak jelas dan tidak disertai tulisan ambigu seperti Start yang juga berisi Shutdown. Yang penting adalah aksinya tidak peduli merknya apa. Yang penting adalah "apa yang kita ingin lakukan" dan isi menunya juga mencerminkan aksi kita :


seperti browsing internet, mengetik dokumen, mainkan musik dll. Hanya saja ini masih dilakukan secara manual. Ada puluhan aplikasi terinstal tetapi yang kita butuhkan hanya 20an saja. Menu khusus yang berkaitan dengan sistem, seting atau running program dipisahkan bahkan yang berpotensi membingungkan disembunyikan agar tidak menjadi bahaya di tangan para awam.


Ketika suatu window dalam kondisi maximized dan berada paling depan maka kita bisa mengakses menu pada panel dengan fasilitas global menu. Termasuk juga window button untuk menutup, minimize dan maximize/unmaximize. Pada panel juga ditampilkan shortcut untuk system seperti mengubah setting display, printer kemudian untuk melakukan shutdown, restart atau suspend. User shortcut juga disediakan untuk mempercepat log-out atau swith user. Bahkan pada Unity, shortcut volume juga terintegrasi dengan media player Banshee yang praktis walaupun seharusnya bisa dicustomize agar bisa dihubungkan dengam media player lainnya.


Untuk menghindari desktop yang terlalu penuh dengan icon (bahkan dokumen juga banyak yang meletakkan pada desktop) sekalian tidak ada ikon sama sekali kecuali tempat sampah. Percaya atau tidak, dengan alasan kepraktisan mengakses file yang diletakkan pada desktop, setelah file dokumen itu selesai kita tidak akan memperhatikan lagi. Hal tersebut dikarenakan desktop selalu tertutup oleh window yang sedang aktif.


Desktop yang tidak berisi icon apa pun supaya tidak memancing icon2 lain yang bikin penuh
Desktop Unity tetap bersih tanpa shortcut atau document dan dengan sedikit pembiasaan diri tetap praktis. Di sini yang perlu ditampilkan hanya jadwal yang akan sering kita perbaharui.
Kicker menu juga tidak perlu berisi keseluruhan program karena tidak semua program akan sering kita gunakan. Menu yang lengkap berisi semua program menyebabkan perjalanan mouse semakin panjang. Disini hanya ada menu favorite berisi 18 program saja. Seperti program Adobe Reader, tidak perlu dipajang di menu karena kita sangat jarang membuka Adobe Reader kosong lalu membuka dokumen .pdf. Yang sering adalah membuka file explorer, mencari dokumen pdf dan membukanya menggunakan Adobe Reader. Seandainya kita ingin menggunakan program untuk memformat disk/usb maka dapat digunakan Run Command... Pada KDE 4.4 Run Command sudah terintegrasi dengan Nepomuk semantic desktop. Artinya apabila kita masukkan kata kunci Disk maka Run Command akan mencari program yang mengandung kata Disk bahkan akan menawarkan dokumen yang berkaitan dengan disk. Kita bisa menggunaka USB Startup Creator untuk memformat USB.
Kicker menu juga tidak perlu berisi shortcut untuk melakukan shutdown dan lock screen. Fasilitas tersebut bisa ditambahkan langsung ke dalam taskbar agar lebih praktis. Bagi saya sendiri penempatan Shutdown dan Lock pada desktop context menu (klik kanan pada desktop) tidak perlu cuma belum bisa cara menghilangkannya.


File manager pada KDE
File manager yang baru pada Ubuntu.
Efek desktop Scale memudahkan untuk switching antar window tanpa terlalu menarik perhatian seperti taskbar, dock atau launcher.




Seandainya harus membuka file manager pun maka pengguna tidak perlu harus berhadapan dengan yang namanya folder tree. Menurut saya folder tree ini cocok untuk system administrator tapi tidak perlu bagi pengguna casual harian. Folder tree ditawarkan untuk pencarian mendalam sebuah folder. Pengguna umumnya hanya perlu membuka folder2 yang sehari2 dipakai bekerja seperti Home, Documents, Music, Pictures, Trash dll. Apabila perlu ditambahkan shortcut untuk Lectures, Papers dll sesuai kebutuhan yang mestinya tidak sampai 20 folder. Root folder juga tidak perlu ditampilkan karena isinya terlihat sangat misterius dan ini bisa membuat pengguna awam khawatir akan merusaknya.

Dan terakhir yang mungkin tidak dijumpai pada Windows adalah multiple desktop, yaitu kita dapat mempunya beberapa area kerja sehingga window yang sedemikian banyak tidak saling tumpang tindih.

Saya pikir konsep di atas dapat diterapkan pada semua jenis desktop tidak hanya terbatas pada KDE dan Gnome saja.

Friday, November 4, 2011

Kubus Rubik sebagai alternatif stress ball

Jangan dikira puzzle yang satu ini sumber stress. Pada awal2 memainkannya memang banyak yang harus dibaca kemudian dihapalkan itu pun untuk menyelesaikannya masih perlu waktu paling tidak sekitar 3 menit. Apabila tidak ada target untuk mengejar waktu untuk kompetisi maka memainkannya dapat menimbulkan sensasi relaksasi sendiri. Ketika sedang mempelajari sebuah algoritma maka kita masih perlu menghapalkan sambil mempraktekannya pelan2 pada cube. Semakin sering kita lakukan maka hapalan ini akan berubah menjadi gerak reflek yang dapat dieksekusi tanpa perlu melihat.

Dulu ketika masih belum tahu yang namanya fingertrik, menyelesaikan cube dengan cara memegang seluruh layer menggunakan telapak tangan sehingga diperlukan banyak sekali gerakan tangan. Selain itu cube jaman dulu juga berat putarannya karena desain dasar center yang berbentuk kotak. Dengan mempelajari fingertrik dan berbekal cube yang agak bagus maka gerakan ini menjadi sangat minimal. Kalo saya demi menghormati pencipta Rubik's Cube maka menyarankan membeli yang merk Rubik's. Rubik ini pertama kali digunakan terasa sangat keras. Hampir mustahil menggunakannya untuk speed, tapi  cube ini awet karena porosnya anti kendor dan plastik yang keras. Semakin sering kita memainkannya maka waktu yang dibutuhkan akan semakin sedikit. Hal itu karena cube yang semakin aus dan longgar sehingga putarannya semakin lancar (dengan penggunaan terus menerus selama 1-2 bulan atau setara dengan 3000 kali solving). Juga karena dengan semakin lancarnya reflek jari2 maka kita bisa memperpendek waktu mengeksekusi algoritma. Waktu loading (untuk mencari piece dan memilih algoritma yang sesuai) juga semakin berkurang. Pada tingkatan tertentu bahkan hampir tanpa waktu loading karena dapat dilakukan sambil mengeksekusi sebuah algo. Menjadikan penyelesaian cube semakin cepat, dalam waktu 30 detikan bisa menjadi sangat mungkin, semakin bagus reflek dan teknik yang digunakan bisa kurang lagi hingga 20 detik.

Efek memainkan cube ini menurut saya hampir sama dengan seperti mengunyah permen karet. Mungkin tidak terasa manis dan pastinya masih dapat dilakkan di siang hari waktu bulan puasa. Dalam menyelesaikan kurang dari 1menit tidak diperlukan pemikiran yang mendalam. Kuncinya adalah reflek kecepatan jari dan mata, bahkan bila masih menimbang2 memikirkan maka waktu akan semakin bengkak. Dengan demikian saraf yang lain menjadi rileks bahkan apabila dilakukan terus menerus dalam waktu yang cukup lama maka akan menimbulkan efek lingkungan sekitar terasa lembam. Efeknya bisa jadi seperti orang ngebut tetapi saya yakin jauh lebih aman. Mengacak cube juga memberikan treatment relaksasi tersendiri. Sambil membaca atau melihat TV atau mendengarkan lagu, cube kita acak2 sehingga jari kita menjadi ikut lemas. Apabila kita memerlukan momen pengalihan sebentar maka kita bisa menyelesaikan cube setelah itu kita acak2 lagi. Tidak terasa mungkin dalam jangka waktu lama bisa menjadi kegiatan yang adiktif. Efeknya mungkin tidak seserius nikotin atau tar pada rokok atau kecanduan fisiologis seperti narkoba, tetapi perlu diwaspadai cedera akibat stres berulang / RSI (Repetitive Stress Injury) bahkan dalam dunia medis pernah mencatat yang namanya Rubik's Thumb dan Rubik's Wrist. Bisa jadi karena trauma tersebut harus berhenti cubing paling tidak 2 mingguan.

Setiap kegiatan pasti memiliki resiko, asalkan kita tahu bagaimana menyiasati maka lebih baik daripada diam melamun pikiran kemana2 dan fisik yang tidak mendapatkan paling tidak sedikit porsi latihan.